Tepuk Sakinah dan Ilusi Harmoni Rumah Tangga
(Direktur Fatimah Institute, Dosen IAIN Parepare)
RUPAMATA.ID,PAREPARE--Beberapa waktu terakhir, media sosial ramai oleh fenomena “Tepuk Sakinah” sebuah gerakan yang digadang-gadang sebagai metode edukatif untuk memperkuat keharmonisan rumah tangga.
Dalam video-video yang beredar, sekelompok orang dengan wajah riang menepuk tangan sambil menyerukan kata-kata “Sakinah, Mawaddah, Warahmah” dengan irama yang hangat. Pesannya sederhana, rumah tangga bahagia dimulai dari hati yang gembira.
Namun, di balik tepuk tangan dan senyum itu, ada paradoks yang menggelitik, apakah harmoni rumah tangga bisa dibangun hanya dengan seruan ritmis dan jargon moral? Ataukah fenomena ini sekadar bentuk pelarian kolektif dari kenyataan getir bahwa banyak pasangan di negeri ini belum memahami hak dan kewajibannya sebagai suami-istri?
Tidak ada yang salah dengan niat baik. “Tepuk Sakinah” mungkin lahir dari semangat penyuluhan, dari keinginan untuk membumikan konsep keluarga sakinah agar terasa ringan dan mudah dicerna.
Tetapi, ketika simbol-simbol seremonial menggantikan kerja serius membangun kesadaran hukum dan tanggung jawab sosial, kita sedang memupuk ilusi.
Rumah tangga tidak runtuh karena orang kurang menepuk tangan, tetapi karena ketimpangan peran, ketidaktahuan hukum, dan minimnya komunikasi yang berkeadilan.
Banyak pasangan tidak tahu bahwa Islam menempatkan suami dan istri sebagai mitra sejajar dalam menjalankan amanah kehidupan bukan relasi subordinatif yang menekan satu pihak dan memanjakan pihak lain.
Fenomena “tepuk sakinah” justru memperlihatkan betapa lemahnya strategi sosialisasi hukum keluarga di tingkat akar rumput.
Kita terlalu sibuk menciptakan gimmick edukatif, sementara substansinya pemahaman hak dan kewajiban, literasi hukum perkawinan, dan kesadaran atas prinsip keadilan dalam keluarga dibiarkan menjadi bayang-bayang samar di tengah masyarakat.
Sebagai peneliti dan dosen hukum , saya sering mendapati mahasiswa atau masyarakat yang bahkan tidak mengetahui isi dasar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, atau Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Banyak yang tidak paham bahwa dalam Islam, suami berkewajiban bukan hanya memberi nafkah lahir, tetapi juga kasih sayang, perlindungan, dan penghargaan atas martabat istrinya.
Demikian pula, banyak istri tidak tahu haknya untuk mendapatkan perlakuan adil, kesempatan menegur, bahkan menggugat jika terjadi pelanggaran hak.
Ketidaktahuan ini menimbulkan lingkaran setan, konflik rumah tangga dianggap nasib, kekerasan domestik dianggap aib, dan perceraian menjadi solusi terakhir karena tidak ada sistem penyelesaian yang berbasis pemahaman hukum yang kokoh.
Padahal, sakinah bukanlah produk spontan dari tepuk tangan, tetapi hasil dari ijtihad sosial yang panjang proses belajar, komunikasi, dan keadilan yang dihidupkan sehari-hari.
Ironisnya, lembaga-lembaga yang mestinya menjadi garda depan sosialisasi hukum keluarga seperti Kementerian Agama, Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4), serta majelis taklim sering kali terjebak dalam kegiatan simbolik.
Mereka rajin menggelar pelatihan, seminar, atau kampanye dengan jargon “keluarga harmonis”, tetapi jarang menyentuh akar masalah, ketimpangan pemahaman tentang hukum keluarga dan nilai kesetaraan gender dalam Islam.
Sosialisasi hukum sering berhenti pada level formalitas. Penyuluh agama di lapangan lebih banyak diminta mengajar doa dan amalan, bukan menjelaskan pasal-pasal hukum atau hak perempuan dalam perkawinan. Padahal, pemberdayaan hukum keluarga seharusnya dimulai dari pengetahuan, bukan dari tepuk tangan atau nyanyian.
Jika penyuluh agama hanya sibuk menciptakan metode kreatif tanpa memperkuat substansi, maka masyarakat akan terus memandang pernikahan sebagai institusi spiritual semata bukan juga sebagai perjanjian hukum yang menuntut tanggung jawab dan kesetaraan.
Dalam Al-Qur’an, istilah sakinah muncul untuk menggambarkan ketenangan yang dianugerahkan Allah kepada hati manusia, terutama dalam relasi suami istri: “Litaskunu ilaiha” agar kamu merasa tenteram kepadanya (QS. Ar-Rum: 21).
Kata itu mengandung makna mendalam, ketenangan yang lahir dari saling memahami, bukan menuntut, dari dialog yang jujur, bukan dari gestur seremonial.
Karena itu, menjadikan “tepuk sakinah” sebagai simbol penyelesaian konflik rumah tangga justru berisiko mereduksi makna spiritual dan sosial dari konsep tersebut. Ia menurunkan “sakinah” dari maqam nilai kehidupan menjadi sekadar slogan publik.
Apakah rumah tangga yang diwarnai kekerasan verbal akan menjadi harmonis setelah suami istri menepuk tangan bersama? Apakah pasangan yang hidup dalam tekanan ekonomi dan ketimpangan peran akan merasa sakinah hanya karena hafal lirik dan gerakan? Pertanyaan-pertanyaan ini menggambarkan absurditas ketika persoalan serius disederhanakan menjadi ritual sosial.
Fakta di lapangan menunjukkan banyak konflik rumah tangga muncul karena tidak ada check and balances di dalam keluarga. Suami merasa menjadi penguasa tunggal, sementara istri dituntut untuk taat tanpa syarat.
Pandangan ini kerap dibenarkan dengan tafsir keagamaan yang parsial, tanpa memahami konteks maqashid syariah (tujuan-tujuan hukum Islam) yang menekankan keadilan dan kemaslahatan bersama.
Selama akar budaya patriarki tidak disentuh oleh pendidikan hukum keluarga yang progresif, maka jargon “sakinah” akan tetap menjadi hiasan bibir.
Karena itu, tugas negara dan institusi pendidikan bukan menambah variasi tepuk-tepuk, melainkan membangun literasi hukum yang membebaskan.
Pendidikan pra-nikah, misalnya, seharusnya tidak hanya mengajarkan tata cara akad atau adab berumah tangga, tetapi juga membahas isu-isu aktual, pembagian peran ekonomi, hak reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, dan mekanisme perlindungan hukum.
Gerakan sosial seharusnya tidak berhenti di simbol. Jika “tepuk sakinah” dimaksudkan untuk menarik perhatian masyarakat, maka baiklah ia dijadikan pintu masuk, bukan tujuan akhir.
Setelah tepuk, harus ada gerak nyata, penyuluhan hukum keluarga berbasis data dan kasus nyata, pendampingan bagi pasangan muda, kolaborasi antara penyuluh agama, akademisi, dan lembaga hukum untuk menciptakan ruang diskusi yang jujur dan terbuka.
Dengan kata lain, kita tidak butuh lebih banyak tepuk tangan, kita butuh lebih banyak pengetahuan. Sakinah bukan proyek viral, melainkan proses kultural dan legal yang menuntut kesabaran dan kerja lintas sektor.
Tepuk sakinah mungkin bisa menghibur, tetapi ia tidak akan mengubah struktur ketidakadilan dalam rumah tangga. Ia bisa menenangkan sejenak, tetapi tidak menyelesaikan akar persoalan.
Sakinah sejati tidak lahir dari gerakan tangan, melainkan dari gerakan kesadaran ketika suami memahami tanggung jawabnya bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai pelindung, ketika istri menyadari haknya untuk dihormati dan ketika negara hadir untuk memastikan bahwa semua itu terlindungi oleh hukum yang adil.
Kita boleh menepuk tangan untuk semangat kebersamaan, tetapi setelah itu, mari bekerja sungguh-sungguh menyusun kebijakan yang berpihak, memperkuat pendidikan hukum keluarga, dan menumbuhkan budaya saling menghormati. Karena sakinah, mawaddah, dan rahmah tidak datang dengan tepuk tangan melainkan dengan pengetahuan, keadilan, dan kasih sayang yang nyata.(*)