RUPA MATA

RUPA MATA

  • Nasional
  • Daerah
  • Regional
  • Budaya & Seni
  • Ekonomi
  • Olahraga
  • Advertorial
  • Politik
  • Kesehatan
  • Pemerintahan
  • Hukum & Kriminal
  • Opini
  • Peristiwa
  • Pendidikan
  • Beranda
  • Opini

Refleksi Maulid Nabi: Kebangkitan Kaum Musta‘afin dan Kritik atas Ketidakadilan Sosial

Oleh Redaksi
06 September


Oleh: Apandi

RUPAMATA.ID,PINRANG--Memasuki bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW, umat Islam di seluruh dunia kembali diberi kesempatan untuk merenungkan makna kelahiran seorang utusan Allah yang membawa cahaya peradaban dari kegelapan menuju terang. 

Sejarah mencatat bahwa beliau lahir pada 12 Rabiul Awal tahun Gajah (570 M), bertepatan dengan kegagalan pasukan bergajah Abrahah yang hendak menghancurkan Ka‘bah. Nabi lahir dalam keadaan yatim, dibesarkan dalam kesederhanaan, dan merasakan pahit getir kehidupan sejak usia dini.

Justru dari pengalaman itu beliau memahami secara langsung penderitaan kaum lemah, sehingga kelak tampil sebagai pembela kaum musta‘afin dan penegak keadilan. Kehadiran Nabi bukan hanya membawa risalah ketuhanan, tetapi juga mengubah tatanan sosial yang timpang, menolak sistem jahiliyyah yang diskriminatif, dan menegakkan nilai kesetaraan serta kemanusiaan.

Refleksi atas Maulid Nabi mengingatkan kita bahwa Islam bukanlah agama yang lahir di ruang kosong. Ia hadir sebagai jawaban atas ketidakadilan sosial yang menindas rakyat kecil. Ketika kaum elit Quraisy menguasai seluruh sistem ekonomi, politik, dan hukum, Nabi hadir dengan pesan bahwa kekuasaan hanya milik Allah dan manusia memiliki kedudukan yang sama di hadapan-Nya. 

Risalah ini sekaligus membebaskan manusia dari perbudakan kepada sesama manusia, menuju penghambaan yang murni kepada Sang Pencipta. Ajaran tersebut terekam dalam al-Qur’an, min al-zulumat ila al-nur membawa manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya (QS. Al-Baqarah: 257; QS. Al-Hadid: 9). 

Oleh sebab itu, Maulid Nabi harus kita maknai sebagai panggilan untuk meneguhkan kembali nilai keadilan, persamaan, dan keberpihakan kepada kaum lemah.

Konsep keberpihakan pada kaum musta‘afin merupakan inti dari dakwah Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an menegaskan janji Allah kepada mereka yang tertindas dalam QS. Al-Qashash ayat 5, bahwa Allah akan mengangkat kaum yang lemah menjadi pemimpin dan pewaris bumi. 

Nabi membuktikan ayat itu dalam praktik, dengan membela budak seperti Bilal bin Rabah, menyelamatkan anak-anak yatim dari ketidakberdayaan, serta menempatkan perempuan dalam posisi yang terhormat.

Islam menegaskan bahwa manusia tidak boleh diukur dari harta, jabatan, atau keturunan, tetapi dari ketakwaan. Spirit pembelaan kepada musta‘afin itu harus kembali dihidupkan di era modern, ketika penindasan hadir dalam wujud baru: kolonialisme, kapitalisme, dan otoritarianisme.

Palestina adalah simbol nyata dari kaum musta‘afin di zaman ini. Puluhan ribu nyawa telah melayang, mayoritas dari mereka adalah anak-anak, perempuan, dan warga sipil yang tidak berdosa. Tanah direbut, rumah dihancurkan, dan hak hidup mereka dirampas oleh penjajahan Zionis Israel dengan dukungan Amerika. 

Dukungan kepada Palestina tidak boleh hanya berhenti pada ucapan doa, melainkan harus menjadi solidaritas kolektif seluruh umat Islam dan bangsa-bangsa yang beradab. Nabi bersabda bahwa umat Islam ibarat satu tubuh; bila satu bagian sakit, seluruh tubuh ikut merasakan. 

Maka, penderitaan Palestina adalah penderitaan kita semua. Membela Palestina berarti mewujudkan warisan Nabi: keberpihakan tanpa kompromi kepada mereka yang tertindas.

Namun kita juga tidak boleh menutup mata terhadap penderitaan kaum musta‘afin di negeri kita sendiri. Indonesia hari ini menghadapi ketidakadilan yang kian menajam. Hukum berjalan dengan logika “tumpul ke atas, tajam ke bawah.” Koruptor kelas kakap bisa mendapatkan hukuman ringan, sementara rakyat kecil yang memperjuangkan tanahnya atau sekadar mencuri karena lapar dihukum berat. 

Perampasan ruang hidup melalui proyek tambang, perkebunan, dan infrastruktur terus berlangsung, memicu krisis ekologi yang paling dirasakan oleh masyarakat miskin. Kenaikan pajak lebih menekan rakyat kecil, sementara kelompok kaya leluasa menghindarinya. 

Situasi ini mengulang peringatan Nabi bahwa kebinasaan suatu bangsa terjadi ketika hukum diterapkan hanya kepada rakyat jelata, tetapi diabaikan jika pelakunya adalah orang besar.

Realitas ketidakadilan itu kian nyata dalam peristiwa tragis pada gelombang aksi rakyat di berbagai daerah antara 25 hingga 31 Agustus 2025. Ribuan orang turun ke jalan menolak kebijakan pemerintah yang dianggap menindas. 

Alih-alih dijawab dengan musyawarah, aksi tersebut dibalas dengan represi. Menurut catatan lembaga independen, sedikitnya sepuluh orang meninggal dunia, lebih dari seribu mengalami luka-luka, dan lebih dari tiga ribu orang ditahan secara sewenang-wenang. Di antara korban jiwa adalah Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online berusia 21 tahun yang tewas tertabrak kendaraan taktis di Jakarta. 

Di Makassar, tiga pegawai sipil meninggal dalam kebakaran gedung DPRD saat kerusuhan pecah. Peristiwa ini menunjukkan bahwa rakyat kecil masih harus membayar mahal dengan darah dan nyawa ketika memperjuangkan hak-haknya. Bulan Agustus dan Oktober 2025 menjadi saksi betapa banyak korban jiwa yang berjatuhan hanya karena mereka berani menyuarakan pendapatnya.

Kondisi ini menegaskan bahwa tugas kita pada hari ini bukan hanya membela Palestina dari cengkeraman penjajahan Zionis Israel dan Amerika, tetapi juga membebaskan rakyat Indonesia dari jeratan kebijakan yang otoriter.

Kebangkitan kaum musta‘afin harus terwujud dalam dua arah: secara global dengan solidaritas terhadap Palestina, dan secara nasional dengan keberanian menolak segala bentuk kebijakan yang menindas rakyat. Menjadi umat Nabi berarti meneladani keberanian beliau dalam menyuarakan kebenaran, sekalipun menghadapi resiko besar.

Refleksi Maulid Nabi akhirnya mengajarkan kita bahwa cinta kepada Rasulullah tidak cukup diekspresikan dengan untaian shalawat atau perayaan ritual semata. Cinta sejati adalah keberanian untuk melanjutkan perjuangan beliau dalam membela yang lemah, menegakkan keadilan, dan melawan penindasan. 

Nabi lahir untuk membebaskan manusia dari perbudakan sesama manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah. Maka, setiap muslim yang merayakan Maulid sejatinya sedang dipanggil untuk meneguhkan misi kenabian itu di zaman kita: memperjuangkan keadilan, melindungi kehidupan, dan menghidupkan kembali semangat kebangkitan kaum musta‘afin.(*)

Tags:
  • Opini
Bagikan:
Baca juga
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Berita terkait
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Berita terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Tampilkan lebih banyak
Posting Komentar
Batal
Most popular
  • Serba-serbi Demo Mahasiswa di Mapolres Parepare 

    01 September
    Serba-serbi Demo Mahasiswa di Mapolres Parepare 
  • Menyoal Istilah Nonaktif Anggota DPR

    01 September
    Menyoal Istilah Nonaktif Anggota DPR
  • Di Balik Orasi Perempuan dan Harapan Keadilan 

    01 September
    Di Balik Orasi Perempuan dan Harapan Keadilan 
  • LBH Ansor Parepare Dampingi Keluarga Korban Pembunuhan Karyawati PT Hino Kumala 

    03 September
    LBH Ansor Parepare Dampingi Keluarga Korban Pembunuhan Karyawati PT Hino Kumala 
  • Gema Suara Mahasiswa di Ujung Toa Perjuangan

    02 September
    Gema Suara Mahasiswa di Ujung Toa Perjuangan
Rupa Mata
Rupa Mata
  • Redaksi
  • Kode Etik
  • Pedoman Media Siber
Copyright © 2025 Rupa Mata. All rights reserved.