Menyoal Istilah Nonaktif Anggota DPR
Oleh: Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
RUPAMATA.ID,PAREPARE--Gelombang demonstrasi yang menelan korban jiwa dan berujung pada perusakan rumah sejumlah anggota DPR kembali memperlihatkan rapuhnya relasi negara dan rakyat. Dalam situasi yang penuh tekanan publik itu, pemerintah bersama pimpinan politik mengambil langkah drastis: menonaktifkan beberapa anggota DPR, di antaranya Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio, dan Nafa Urbach.
Langkah ini sekilas tampak tegas dan cepat, namun menyimpan masalah mendasar. Sebab, istilah nonaktif sama sekali tidak dikenal dalam tata hukum Indonesia, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) maupun Tata Tertib DPR. Pertanyaannya: apakah “nonaktif” ini memiliki legitimasi konstitusional, atau justru sekadar manuver politik untuk meredam gejolak?
UU MD3 merinci mekanisme pemberhentian anggota DPR, baik secara tetap maupun antarwaktu (PAW). Beberapa jalurnya yaitu Pemberhentian karena sebab alamiah, misalnya Anggota DPR otomatis diberhentikan apabila meninggal dunia. Kemudian Pemberhentian karena pengunduran diri.
Seorang anggota dapat mundur atas permintaan sendiri dan digantikan melalui mekanisme PAW oleh partai politik pengusung.
Selanjutnya Pemberhentian oleh partai politik. Partai politik dapat menarik kadernya dari DPR jika melanggar AD/ART partai, tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota, atau dianggap tidak loyal pada garis partai. Mekanisme ini biasanya diproses melalui surat resmi partai kepada pimpinan DPR dan KPU. Lalu Pemberhentian karena putusan hukum.
Jika anggota DPR dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, keanggotaannya dapat diberhentikan.
Dan terakhir Pemberhentian karena pelanggaran etik berat. Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) berwenang menjatuhkan sanksi terhadap anggota DPR yang melanggar kode etik. Sanksi yang paling berat dapat berupa pemberhentian dari jabatan di alat kelengkapan dewan, namun tidak sampai pada status keanggotaan DPR secara penuh.
Dari kelima mekanisme tersebut di atas, tidak ada satu pun yang mengenal istilah “penonaktifan”. Artinya, baik dalam konteks hukum maupun etika, nonaktif bukanlah kategori yang diatur secara formal.
Berbeda dengan birokrasi eksekutif, di mana penonaktifan jabatan kerap digunakan terhadap kepala daerah, pejabat kementerian, atau aparat negara yang sedang diperiksa, dalam dunia legislatif konsep ini tidak eksis. Anggota DPR dipilih melalui pemilu, sehingga mandatnya bersifat representatif dan hanya dapat diputus melalui mekanisme hukum yang tegas.
Menempelkan istilah nonaktif pada anggota DPR sejatinya menciptakan konstruksi hukum baru yang tidak memiliki basis normatif. Akibatnya, langkah tersebut berpotensi dipersoalkan di kemudian hari, baik melalui jalur peradilan maupun melalui konflik politik di internal partai.
Menurut penulis, ada dua persoalan yang timbul dari kebijakan nonaktif ini. Pertama, secara hukum, langkah ini menabrak prinsip kepastian hukum (legal certainty). Negara hukum menuntut setiap tindakan pejabat publik harus berlandaskan aturan tertulis. Tanpa dasar hukum, kebijakan nonaktif hanya menjadi keputusan politis yang rapuh.
Kedua, secara politik, penonaktifan justru berpotensi merusak institusi DPR sendiri. Lembaga legislatif tampak tunduk pada tekanan publik atau kepentingan politik sesaat, bukan pada mekanisme konstitusional yang telah diatur. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menurunkan wibawa DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Jika memang ada anggota DPR yang dianggap bertanggung jawab, setidaknya ada tiga jalur yang bisa ditempuh sesuai koridor hukum , Pertama, Partai Politik pengusung dapat menarik kembali anggotanya melalui mekanisme PAW. Ini merupakan jalur politik formal yang sah.
Kedua melalui Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang menjatuhkan sanksi etik yang tegas, bahkan merekomendasikan pemberhentian dari jabatan di alat kelengkapan dewan. Walau terbatas, mekanisme ini memiliki legitimasi.
Ketiga, mekanisme Penegakan Hukum jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum dapat memproses anggota DPR secara hukum pidana. Putusan pengadilan nantinya bisa menjadi dasar pemberhentian tetap.
Ketiga opsi diatas lebih menjamin kepastian hukum dan integritas kelembagaan dibanding sekadar “menonaktifkan”.
Krisis politik memang kerap mendorong lahirnya keputusan darurat. Namun dalam negara hukum, langkah darurat tetap harus berpijak pada norma hukum yang jelas. Istilah nonaktif bagi anggota DPR hanyalah improvisasi politik tanpa basis konstitusional.
Jika pemerintah dan pimpinan DPR ingin mengembalikan wibawa lembaga perwakilan, maka jalurnya bukan dengan menciptakan istilah baru yang kabur, melainkan dengan menegakkan mekanisme yang sudah ada dalam UU MD3 dan Tata Tertib DPR.
Pada akhirnya, yang sedang dipertaruhkan bukan sekadar kursi anggota DPR, melainkan konsistensi kita sebagai bangsa dalam menjunjung tinggi prinsip negara hukum.(*)