Kritik atas Pernyataan Diskriminatif Warek 3 IAIN Parepare terhadap Prodi “Nol Prestasi”
RUPAMATA.ID,PAREPARE--Pernyataan Wakil Rektor (Warek) 3 IAIN Parepare mengenai tiga program studi yang disebut sebagai “nol prestasi” telah menimbulkan polemik serius di kalangan akademisi. Ungkapan tersebut bukan hanya bernuansa merendahkan, tetapi juga berpotensi melahirkan stigma negatif terhadap mahasiswa, dosen, dan pengelola prodi yang disinggung. Dalam ranah akademik, kritik seharusnya didasarkan pada evaluasi objektif, data yang terukur, serta diarahkan untuk perbaikan, bukan untuk menghakimi secara sepihak.
Evaluasi terhadap program studi memang diperlukan guna meningkatkan kualitas pendidikan tinggi. Namun, penggunaan istilah diskriminatif seperti “nol prestasi” menunjukkan kurangnya kepekaan serta etika akademik seorang pejabat kampus. Alih-alih membangkitkan semangat untuk berbenah, justru ucapan demikian dapat melemahkan motivasi sivitas akademika yang sedang berupaya memperbaiki mutu. Hal ini bertentangan dengan hakikat kepemimpinan akademik yang seharusnya mendukung, membimbing, dan merangkul semua pihak tanpa memandang keterbatasan capaian yang dimiliki.
Prestasi sebuah prodi juga tidak semata-mata diukur dari kemenangan kompetisi atau penghargaan eksternal. Banyak prodi yang meski minim raihan formal, namun berkontribusi besar melalui pengabdian masyarakat, inovasi pengajaran, maupun capaian akademik yang tidak selalu terekspos. Karena itu, labelisasi “nol prestasi” merupakan penyederhanaan yang berlebihan sekaligus mengabaikan keragaman bentuk pencapaian akademik.
Ucapan diskriminatif semacam ini berpotensi menimbulkan segregasi internal antar prodi. Stigma “nol prestasi” bisa membuat prodi tertentu dipandang rendah, sehingga memicu konflik horizontal dan menggerus semangat kebersamaan. Padahal, semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi justru menekankan kolaborasi dan sinergi lintas disiplin. Dalam konteks ini, ucapan Warek 3 lebih berpotensi memecah belah daripada memperkuat solidaritas akademik.
Dari perspektif kepemimpinan, pejabat perguruan tinggi memiliki kewajiban moral untuk menjaga wibawa, etika, dan keadilan dalam setiap kata maupun kebijakannya. Kritik terhadap prodi sebaiknya disampaikan melalui mekanisme resmi, seperti evaluasi akademik, rapat senat, atau forum strategis dengan landasan data dan indikator kinerja. Mengumbar label negatif di ruang publik justru memperlihatkan gaya kepemimpinan yang represif dan kurang arif.
Lebih jauh, ucapan diskriminatif tersebut berpotensi merusak citra institusi. Publik, calon mahasiswa, hingga mitra eksternal bisa saja menilai bahwa kampus gagal membina kualitas prodi secara merata. Alih-alih menjadi promosi positif, justru pernyataan ini mencoreng reputasi lembaga. Dalam jangka panjang, hal itu berisiko mengurangi minat calon mahasiswa untuk masuk ke prodi yang terlanjur distigma buruk.
Dalam kerangka akademik yang sehat, kritik sebaiknya disampaikan dengan bahasa yang konstruktif. Warek 3 seharusnya mengajak prodi yang dinilai tertinggal untuk menyusun strategi peningkatan mutu bersama. Bentuk dukungan seperti pendampingan, fasilitasi penelitian, pengembangan jejaring, hingga bantuan pendanaan akan jauh lebih efektif dibandingkan melabeli prodi dengan stigma negatif.
Oleh sebab itu, kritik terhadap pernyataan Warek 3 IAIN Parepare perlu ditegaskan sebagai kontrol publik atas etika kepemimpinan akademik. Perguruan tinggi adalah ruang pengembangan intelektual, bukan wadah diskriminasi. Kritik yang muncul semestinya diarahkan untuk perbaikan kolektif, bukan untuk merendahkan. Hanya dengan kepemimpinan yang adil, inklusif, dan bijaksana, kampus dapat benar-benar menjadi pusat keunggulan akademik yang bermartabat.